Antara Energi Tambahan atau Beban Demokrasi – Saat Suami Kepala Daerah Terlalu Jauh Melangkah

Oleh: Edi Suroso (Teja)

Pimpinan Redaksi Natindonews.com.

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kekuasaan dijalankan berdasarkan mandat rakyat dan dijaga dengan prinsip akuntabilitas serta etika publik. Namun bagaimana jika suara-suara non-struktural, seperti pasangan kepala daerah, mulai terdengar terlalu dominan dalam urusan yang seharusnya menjadi ranah pejabat resmi?

Kasus Raja Mustakim, suami Bupati Natuna Cen Sui Lan, menjadi cermin yang menarik untuk kita kaji bersama. Bukan karena peran resminya—karena memang tidak ada—melainkan karena sikap dan respons publiknya yang terlalu emosional, bahkan menyerang pihak-pihak yang mengkritik kebijakan istrinya. Terakhir, tanggapannya terhadap komentar politik dari Sekretaris DPC Gerindra Natuna, Marzuki, di grup WhatsApp publik menjadi bukti betapa kaburnya batas antara peran personal dan tanggung jawab pemerintahan.

Pertanyaannya: Apakah ini bentuk dukungan moral seorang suami, atau justru intervensi yang merusak sistem?

Sebagian mungkin menganggap kehadiran pasangan kepala daerah sebagai energi tambahan. Mereka bisa menjadi penyemangat, penyambung lidah rakyat, atau penggerak sosial. Namun dukungan haruslah proporsional, elegan, dan sesuai batas. Ketika mulai mencampuri diskursus publik dengan gaya konfrontatif, apalagi tanpa posisi resmi, itu bukan lagi energi—melainkan gangguan terhadap tata kelola demokrasi.

Mari kembali ke norma dasar. Tidak ada regulasi yang memberikan kewenangan kepada suami atau istri kepala daerah untuk terlibat dalam kebijakan, apalagi bersuara seolah-olah bagian dari struktur. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sangat jelas: kepala daerah dan wakilnya yang sah bertanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan. Bukan suami, bukan istri, apalagi kerabat dekat.

Ketika suara non-struktural justru lebih nyaring daripada pejabat yang bertanggung jawab, maka lahirlah apa yang publik sebut sebagai “bupati bayangan.” Ini bukan hanya keliru, tapi juga mengikis marwah pemerintahan daerah yang semestinya transparan, profesional, dan terbuka terhadap kritik.

Lebih buruk lagi, jika kritik politik dari lawan justru dijawab dengan sindiran emosional, bukan klarifikasi kebijakan. Demokrasi lokal yang sehat justru tumbuh dari ruang dialog dan kritik terbuka—bukan dari dominasi figur tak resmi yang terlalu “baper” menghadapi dinamika politik.

Kini publik menanti sikap tegas dari Bupati Natuna. Apakah akan tetap membiarkan ruang kebijakan dikotori oleh sentimen personal dari belakang layar, atau memilih jalur profesionalisme dan menegakkan batas peran? Karena jika tidak, maka citra pemerintahan yang seharusnya solid dan elegan akan terus dirundung oleh bayang-bayang ketidaktegasan dalam mengelola relasi personal dan publik.

Sudah saatnya, kepala daerah menunjukkan bahwa mereka benar-benar memimpin. Bukan hanya dalam jabatan, tapi juga dalam menjaga integritas ruang kebijakan dari intervensi yang tak pada tempatnya.***

 

Leave a Reply