Arogansi Kekuasaan dan Pembungkaman Kritik, Ancaman Serius bagi Demokrasi Lokal

Pimred Natindo news.com Edi Suroso 

NATINDONEWS.COM. NATUNA – Redaksi memandang serius laporan polisi yang dilayangkan oleh Marzuki, Sekretaris DPC Partai Gerindra Kabupaten Natuna, terhadap Raja Mustakim, suami Bupati Natuna, pada Senin, 26 Mei 2025.

Peristiwa ini bukan sekadar perselisihan antar individu, melainkan alarm bahaya bagi kebebasan berekspresi dan keberlangsungan demokrasi di tingkat daerah.

Kronologi Singkat

Masalah bermula dari kritik yang disampaikan Marzuki terkait kebijakan pembentukan Tim Penyusun Perangkat Daerah (TPPD), yang terkesan diam-diam dan disebut-sebut tidak melibatkan Wakil Bupati Natuna, Jarmin Sidik—yang juga Ketua DPC Gerindra Kabupaten Natuna. Kritik ini disampaikan melalui platform media online.

Namun, alih-alih dijawab dengan argumen atau klarifikasi, respons yang muncul justru berupa komentar kasar dari Raja Mustakim dalam sebuah grup WhatsApp. Komentar tersebut dianggap oleh Marzuki tidak hanya merendahkan pribadinya, tetapi juga melecehkan marwah Partai Gerindra, partai besar yang kini dipimpin oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Atas dasar itu, Marzuki melaporkan Raja Mustakim ke pihak kepolisian.

Sekretaris DPC Partai Gerindra Natuna Marzuki SH Usai Membuat Laporan

Pelaporan yang tepat, sebagai koreksi terhadap orang dekat dengan kekuasaan

Redaksi menilai, langkah hukum yang ditempuh Marzuki merupakan bentuk perlawanan sah terhadap arogansi dari orang yang merasa dekat kekuasaan. Ini adalah sinyal penting bahwa siapa pun yang berada di lingkaran kekuasaan harus tetap terbuka terhadap kritik dan tidak bertindak semena-mena. Jika tindakan kasar dan represif dibiarkan tanpa koreksi, maka iklim demokrasi akan terancam.

Langkah pelaporan ini bisa menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik dan keluarganya agar tidak alergi terhadap kritik. Kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menekan suara masyarakat, apalagi lewat cara-cara yang kasar dan mengintimidasi.

Ancaman Serius terhadap Demokrasi

Redaksi melihat beberapa konsekuensi serius jika tindakan seperti ini terus dibiarkan:

1. Membunuh Ruang Demokrasi

Bila kritik dibalas dengan intimidasi atau pelecehan, masyarakat akan enggan bersuara. Demokrasi akan kehilangan ruhnya.

2. Memicu Ketegangan Sosial

Tindakan arogan dari tokoh-tokoh dekat kekuasaan dapat memecah belah masyarakat dan memicu polarisasi yang berbahaya.

3. Merosotnya Kepercayaan Publik

Ketika publik merasa suaranya dibungkam dan tidak dihargai, kepercayaan terhadap pemerintah dan aparat hukum akan luntur.

4. Merusak Citra Pemimpin Daerah

Raja Mustakim, sebagai suami Bupati, adalah bagian dari lingkungan kekuasaan. Sikapnya mencerminkan wajah pemerintahan. Tindakan tak terukur akan merugikan citra bupati di mata masyarakat.

Jika Dibiarkan, Apa yang Akan Terjadi?

Apabila praktik pembungkaman ini terus berlanjut tanpa koreksi, maka yang tumbuh adalah budaya takut, apatisme politik, dan ketidakterbukaan dalam proses pembangunan. Demokrasi lokal akan mati secara perlahan, dan masyarakat kehilangan harapan untuk turut serta dalam perubahan daerah.

Redaksi menegaskan, kritik bukan kejahatan. Kritik adalah bagian dari pengawasan publik dan semestinya direspons dengan kedewasaan. Pemerintah yang kuat bukan yang menekan suara berbeda, tapi yang mampu berdialog, mengoreksi diri, dan menyerap aspirasi warganya.

Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh adat, akademisi, media, hingga penegak hukum, untuk bersama menjaga iklim demokrasi di Natuna. Arogansi kekuasaan harus dilawan, dan kritik harus dihormati sebagai penyeimbang roda pemerintahan.

Penulis:

Edi Suroso 

Pimpinan Redaksi Natindonews.com

 

Leave a Reply