Janji “Cermin Membara” Meredup, Konflik Internal Ancam Masa Depan Natuna

Penulis : Edi Suroso dengan Secangkir Kopi (Pemimpin Redaksi)

Opini – Harapan besar membumbung tinggi saat pasangan Cen Sui Lan dan Jarmin Sidik (Cermin) memenangkan kontestasi politik di Kabupaten Natuna. Dengan slogan “Membangun Bersama Rakyat” (Membara) dan diusung oleh koalisi kuat Gerindra, Golkar, dan PAN, duet ini dianggap sebagai tiket emas bagi kemajuan Natuna.

Namun, setelah lebih dari setengah tahun berjalan, cermin itu tampak retak, dan apinya kian meredup.

Modal Politik Kuat, Realita Ekonomi Lesu. Di atas kertas, pemerintahan Cen-Jarmin memiliki segalanya. Cen Sui Lan, dengan pengalamannya di Senayan (DPR RI), digadang-gadang memiliki koneksi hebat hingga ke pemerintah pusat dan provinsi.

Sementara itu, Jarmin Sidik adalah Ketua DPC Partai Gerindra Natuna, partai yang ketua umumnya kini memegang tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia. Secara teori, membuka pintu anggaran dan program strategis dari pusat seharusnya bukan perkara sulit.

Namun, harapan publik berbenturan dengan realita pahit. Alih-alih melesat, roda perekonomian Natuna justru terasa mandek, bahkan cenderung suram. Pembayaran Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) yang tersendat hingga berbulan-bulan dan tumpukan utang kepada pihak ketiga yang belum terbayar menjadi indikator nyata bahwa mesin pemerintahan tidak berjalan mulus. Koneksi kuat yang dijanjikan seolah tak berdaya menghadapi persoalan mendasar daerah.

Perseteruan di jantung kekuasaan, diduga kuat, tidak hanya terletak pada teknis pemerintahan, tetapi juga pada rapuhnya hubungan di lingkaran inti kekuasaan. Alih-alih solid, koalisi pengusung justru diguncang perseteruan internal yang kini menjadi konsumsi publik.

Satah satu pemicunya adalah konflik antara Raja Mustakim, suami dari Bupati Cen Sui Lan, dengan Marzuki, Sekretaris DPC Gerindra Natuna yang kini menjabat Ketua Fraksi Gerindra di DPRD Provinsi Kepulauan Riau.

Perseteruan ini diawali dari protes Marzuki mengenai tidak dilibatkannya Wakil Bupati Jarmin Sidik—yang notabene adalah atasannya di struktur partai—dalam proses pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D).

Protes yang seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan itu justru berujung pada dugaan penghinaan, yang kini telah memasuki ranah hukum melalui laporan kepolisian. Keretakan ini bukan sekadar perselisihan personal, melainkan sebuah sinyal bahaya bagi jalannya pemerintahan.

Marzuki, meskipun “hanya” seorang legislator provinsi, memegang posisi strategis. Sebagai kader loyal dan pimpinan fraksi dari partai penguasa, ia adalah salah satu “pintu masuk” vital yang dapat dimanfaatkan Pemkab Natuna untuk melobi dan mengamankan program pembangunan di tingkat provinsi maupun pusat. Namun perseteruan yang terjadi, sama saja melumpuhkan akses politik ke pemerintahan pusat.

Dengan hubungan yang rusak parah, simbiosis mutualisme politik yang seharusnya terjadi antara eksekutif di kabupaten dan legislatif di provinsi menjadi macet. Energi yang semestinya difokuskan untuk berkolaborasi demi kemajuan Natuna, kini terkuras habis oleh konflik internal yang merugikan bagi daerah.

Pada akhirnya, yang menjadi korban utama adalah masyarakat Natuna. Harapan mereka untuk melihat daerah perbatasan ini maju pesat kini terancam kandas, tersandera oleh ego dan kurang harmonisnya politik di antara para elitenya.

Jika para pemimpin tidak segera menyingkirkan perbedaan personal dan kembali bekerja dalam satu barisan yang solid, maka janji “Cermin Membara” hanya akan menjadi kenangan manis kampanye yang tak pernah terwujud. Koneksi sekuat apa pun di tingkat pusat akan sia-sia jika fondasi di daerah rapuh dan terbelah. (***)

 

Leave a Reply