Opini – Ketika perut sebagian rakyat masih harus berdamai dengan nasi putih tanpa lauk, dan kepala keluarga harus memutar otak demi membayar uang sekolah anak, sebuah unggahan video liburan ke luar negeri sontak mengusik nalar keadilan publik. Apalagi jika unggahan itu muncul dari akun media sosial yang mencantumkan nama seorang kepala daerah—dalam hal ini, Bupati Natuna, Cen Sui Lan.
Akun dengan nama @OFF@FAM@CENSUILANBUPATINATUNA belakangan menjadi perbincangan publik setelah mengunggah sejumlah video yang menampilkan momen liburan keluarga di luar negeri. Video tersebut memang disebut-sebut merupakan dokumentasi lama. Namun, waktu unggahannya—antara Juni dan Juli 2025—bertepatan dengan masa jabatan Cen Sui Lan sebagai Bupati Natuna. Dan itu yang menjadi soal.
Di tengah tekanan ekonomi, persepsi menjadi segalanya. Bahkan unggahan sederhana bisa memunculkan kesan yang dalam. Unggahan liburan dalam konteks ini bukan hanya soal konten, tetapi juga pesan—dan lebih jauh, tentang sensitivitas sosial seorang pemimpin.
Rakyat tentu tidak anti terhadap pejabat yang berlibur. Mereka tahu bahwa manusia, siapapun dia, butuh waktu jeda dan ruang keluarga. Tapi publik juga punya harapan bahwa pejabat publik mampu memilah ruang mana yang pantas untuk ditampilkan dan kapan waktu yang tepat untuk menampilkannya. Terlebih, jika konten itu disebarkan lewat akun yang mengusung identitas kekuasaan.
Apalagi, kita sedang berada di masa ketika batas antara ruang privat dan publik semakin kabur. Di era digital, setiap unggahan pejabat akan selalu dinilai dalam bingkai empati. Dan di sinilah seorang pemimpin diuji: bukan sekadar pada kemampuannya memimpin birokrasi, tetapi juga pada kecerdasannya membaca situasi dan rasa masyarakat.
Sampai tulisan ini dibuat, belum ada klarifikasi resmi dari pihak Bupati. Namun, klarifikasi mungkin tidak akan cukup menenangkan hati publik jika tak disertai sikap reflektif. Karena publik kini bukan hanya menuntut akuntabilitas, tapi juga kepekaan.
Jabatan publik adalah amanah, dan setiap detik dalam ruang digital bisa menjadi ruang ujian moral. Dalam kondisi rakyat sedang sulit, barangkali yang paling dibutuhkan adalah pemimpin yang bisa menahan diri—untuk tidak sekadar terlihat mewah, melainkan sungguh-sungguh membumi.
Karena dalam masa sulit, pemimpin yang hadir bukan hanya yang memberi bantuan, tapi juga yang tahu kapan harus diam dan tidak memamerkan kenyamanan.***